Harian deteksi- Sudah hampir 1 bulan Rein Suleman mendekam di jeruji besi rutan Polda Gorontalo, buntut dari aksi unjuk rasa menuntut ganti rugi perusahaan tambang emas PT Puncak Emas Tani Sejahtera (PETS) yang berujung pembakaran Kantor Bupati Pohuwato pada akhir September silam.
Imbas dari aksi yang berujung ricuh itu, Rein langsung ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka sehari kemudian. Ia disangka telah melakukan tindak pidana penghasutan sebagaimana diatur dalam KUHP Pidana dan terancam hukuman penjara 6 tahun. Sebanyak 35 orang telah ditetapkan sebagai tersangka imbas insiden tersebut.
Kuasa hukum menuding penanganan demonstrasi dan penetapan tersangka Rein dan 34 tersangka lainnya menyalahi aturan, namun kepolisian Gorontalo mengeklaim “sudah sesuai dengan aturan dan prosedur operasi standar kepolisian”.
Ketua Asosiasi Penambang Rakyat Indonesia (APRI) Pohuwato mengatakan nilai ganti rugi yang diberikan perusahaan terhadap masyarakat lahan yang tak layak menjadi pemicu demonstrasi yang berujung ricuh dan pembakaran.
Adapun PT PETS berkomitmen mengupayakan “solusi terbaik” untuk menyelesaikan konflik yang terjadi dengan warga penambang, namun menuding aktivitas pertambangan emas tanpa izin di areanya menyebabkan kerusakan lingkungan dan mengancam kesehatan masyarakat Marisa.
Koordinator peneliti di Institute for Human and Ecological Studies (InHIDES), Tarmizi Abbas, menilai aksi yang terjadi pada 21 September lalu di Pohuwato sebagai “puncak dari bukti ketimpangan perebutan sumber daya alam yang sudah terjadi kurang dua dekade terakhir”.
“Kondisi ini membuktikan bahwa negara tidak mampu melakukan intervensi dalam menyelesaikan konflik agraria ini, dan justru akan memperpanjang konflik agraria di Indonesia,” ujar Tarmizi kepada Sarjan Lahay, wartawan di Gorontalo yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
‘Berulang kali melarang, tapi tak dihiraukan’
Keterlibatan Rein Suleman dalam aksi itu tak seperti yang dituduhkan oleh polisi, menurut kuasa hukumnya, Ahmad Hafiz, yang menilai kepolisian telah “salah tangkap”.
Ahmad kemudian menjelaskan bahwa keterlibatan Rein dalam aksi itu bermula saat dirinya ingin mencari ibunya yang menjadi juru masak di wilayah Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Desa Hulawa, Kecamatan Buntulia, Kabupaten Pohuwato. Rein khawatir, ibunya akan ikut dalam demonstrasi yang diketahuinya akan dilaksanakan hari itu.
Kala itu, pada 21 September pukul 11.00 waktu setempat, ribuan warga penambang telah berkumpul dan bersiap melakukan demonstrasi di Lapangan Buntulia, Desa Buntulia Utara. Satu jam kemudian, massa menuju kantor PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA) – perusahaan induk dari PETS – di Desa Hulawa.
Pada 12.30 waktu setempat, kondisi mulai memanas ketika aparat polisi tak dapat lagi mengendalikan massa aksi karena jumlah mereka kalah banyak. Situasi semakin mencekam saat massa aksi memecahkan kaca kantor, dinding mess karyawan, mobil operasional, hingga membakar bangunan dan tangki bahan bakar minyak (BBM) milik perusahaan.
Usai merusak kantor perusahaan, mereka menuju ke Kecamatan Marisa, ibu kota Kabupaten Pohuwato.
Sementara, kata Ahmad, posisi Rein saat itu masih dalam perjalanan dari Desa Teratai, Kecamatan Marisa, menuju Desa Hulawa dengan tujuan untuk mencari ibunya. Sekitar Pukul 13.00 waktu setempat, Rein berhasil bertemu ibunya dan langsung meminta ibunya untuk langsung pulang ke rumah.
Pada saat yang sama, Rein berpapasan dengan sejumlah massa aksi yang mengenalnya dan meminta dirinya berorasi. Rein dikenal sebagai intelektual, aktivis muda, dan tokoh pemuda Pohuwato. Ia juga merupakan Ketua Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Wilayah Gorontalo.
Meskipun awalnya menolak permintaan itu, Rein akhirnya turun tangan ketika melihat kondisi massa aksi sudah tak kondusif. Sambil turut massa aksi ke titik aksi selanjutnya, ia berorasi untuk memberikan arahan pada massa aksi agar tertib melakukan demonstrasi.
“Rein berulang-ulang kali melarang untuk tidak berbuat anarkis, tapi massa aksi tidak menghiraukan,” jelas Ahmad.
Sayangnya, emosi massa aksi kembali tidak terkendali saat berada di Kantor Koperasi Unit Desa (KUD) Dharma Tani Marisa di Kecamatan Duhiadaa dan Marisa. Koperasi itu bekerjasama dengan PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA) melalui PETS yang akan mengeksploitasi gunung pani dalam pengelolaan emas.
Demikian halnya, aksi anarkis massa juga terjadi di kantor bupati Pohuwato. Akibat tidak berhasil bertemu Bupati, mereka merusak gedung milik negara itu dengan melempari batu. Interior, meja, kursi hingga foto yang terpajang di dalam ruangan kantor bupati pun dihancurkan.
Tak hanya itu, massa aksi membakar kantor bupati Pohuwato hingga ludes terbakar.
Rumah dinas bupati dan kantor DPRD Pohuwato yang tak jauh dari lokasi itu juga tak luput dari aksi massa.
Menurut Ahmad, Rein saat itu berusaha mengendalikan emosi massa aksi. Melalui pengeras suara, ia berulang-ulang kali melarang massa aksi melakukan anarkis. Namun perintah Rein tak dihiraukan oleh mereka.
“Rein justru melarang berbuat anarkis. Tapi, perintahnya sudah tidak dihiraukan. Massa aksi tetap melakukan anarkis,” kata Ahmad.
Saat kobaran api mulai melahap Kantor Bupati Pohuwato, ratusan polisi dari Polda Gorontalo dan Polres Pohuwato menembakkan gas air mata untuk memukul mundur massa yang berdemonstrasi.
Sekitar 40 orang demonstran ditangkap, termasuk Rein Suleman. Mereka lantas digiring ke Polres Pohuwanto.
Dugaan salah tangkap dan penganiayaan polisi
Ahmad menuturkan bahwa semua demonstran yang ditangkap, termasuk kliennya, diduga mengalami penganiayaan oleh oknum polisi. Hal itu, tegas Ahmad, terbukti dari luka yang dialami kliennya ketika bertemu dengannya.
“Rein mengalami luka dalam dan luka luar, yaitu; lebam pada sekitar mata, bibir pecah, dada sakit dan terkadang sesak nafas, serta sakit di telinga bagian belakang,” kata Ahmad.
Tak hanya Rein, Abdul Rizal Lasantu dan Ramin Igrisa juga mengalami hal serupa. Bahkan, polisi sempat melarang keluarga mereka untuk menjenguk, menurut kuasa hukum mereka, Ali Rajab.
Ali menjelaskan bahwa keluarga keduanya adalah penambang rakyat di wilayah Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Desa Hulawa. Mereka melakukan protes kepada perusahaan yang mencoba mengambil alih wilayah yang sudah sejak dahulu menjadi sumber penghidupan keluarga mereka.
“Awalnya, lahan-lahan di wilayah penambang rakyat akan dibayar oleh perusahan sebagai kompensasi yang sudah melakukan penambangan terlebih dahulu di wilayah itu, tapi harganya tidak manusiawi, jadi warga melakukan protes,” ujar Ali.
Hingga 5 Oktober, sudah ada 35 orang tersangka yang ditetapkan oleh polisi, imbas demonstrasi yang berujung pada pembakaran kantor bupati Pohuwano, termasuk mereka bertiga.
Ahmad Hafiz, kuasa hukum Rein Suleman, mengungkapkan bahwa penangkapan massa aksi ini telah mengakibatkan ketakutan luar biasa bagi sebagian masyarakat Pohuwato. Banyak warga yang tak ikut aksi, justru ditangkap dan dianiaya oleh oknum polisi.
“Menurut kami, korban salah tangkap merupakan kasus pelanggaran HAM yang sistematis dan termasuk ke dalam kejahatan yang serius,” tegas Ahmad.
Lebih jauh, Ahmad mengatakan polisi sudah melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan tidak menggunakan Standar Operasional Prosedur (SOP) Kepolisian dalam menangani massa aksi, termasuk terhadap kliennya, Rein Suleman.
Untuk itu, ia meminta kepolisian dan pemerintah untuk “mengusut tuntas” kesalahan penanganan aksi massa yang tidak sesuai SOP pengendalian massa dan UU HAM.
Sementara itu, Kapolda Gorontalo Irjen Pol Angesta Romano Yoyol mengeklaim, anggotanya sudah melakukan tugas sesuai aturan dan prosedur operasi standar kepolisian dalam pengamanan massa aksi pada 21 September lalu.
“Masyarakat yang menyampaikan aspirasi wajib kita kawal selagi mengikuti aturan hukum yang berlaku. Tapi kalau sudah merusak fasilitas umum, apalagi merusak aset-aset negara harus kita lakukan tindakan tegas dan terukur,” katanya.
Ia menegaskan akan memroses dugaan-dugaan pelanggaran yang dilakukan anak buahnya. Meski begitu, ia mengeklaim beberapa warga yang mengalami luka-luka, diakibatkan oleh lemparan batu dari massa aksi itu sendiri.
Dalam insiden tersebut, sebanyak 10 anggota kepolisian mengalami luka-luka dan patah tulang saat melakukan pengamanan demonstrasi.
‘Puncak ketimpangan perebutan sumber daya alam’
Selama hampir 20 tahun terakhir, warga penambang kerap melakukan aksi ke Pemerintah Daerah Pohuwanto, selaku pemegang kekuasaan wilayah di ujung barat Gorontalo.
Salah satu tuntutan mereka adalah menolak keberadaan perusahaan tambang karena dinilai merusak lingkungan dan merugikan masyarakat. Mereka juga meminta penetapan wilayah pertambangan rakyat (WPR), juga menuntut ganti rugi lahan yang menjadi isu sentral dalam aksi unjuk rasa pada 21 September lalu.
Ali Rajab, kuasa hukum Abdul Rizal Lasantu dan Ramin Igrisa, mengamini bahwa aksi yang dilakukan kliennya pada akhir September silam adalah “puncak dari aksi yang dilakukan sebelumnya”.
“Klien kami sudah beberapa kali melakukan aksi di Kantor Bupati dan DPRD, hingga perusahan dengan tujuan untuk meminta keadilan atas lahan-lahan penambang yang dihargai tidak wajar,” kata Ali.
Ali mengatakan kliennya melakukan protes kepada perusahaan yang mencoba mengambil alih wilayah yang sudah sejak dahulu menjadi sumber penghidupan keluarga mereka.
“Awalnya, lahan-lahan di wilayah penambang rakyat akan dibayar oleh perusahan sebagai kompensasi [bagi] yang sudah melakukan penambangan terlebih dahulu di wilayah itu, tapi harganya tidak manusiawi, jadi warga melakukan protes,” jelasnya.
Aksi unjuk rasa masyarakat penambang yang mengatasnamakan Forum Ahli Waris Penambang Pohuwato pada 21 September lalu adalah “puncak ketimpangan perebutan sumber daya alam,” yang sudah terjadi hampir dua dekade terakhir, menurut Tarmizi Abbas dari Institute for Human and Ecological Studies (InHIDES).
Berkaca di konflik Pohuwato, lanjut Tarmizi, pemerintah daerah cenderung berpihak ke investasi atau korporasi.
“Menurut saya, konflik ini akan berlanjut lagi jika kedua perusahaan tambang emas yang bersengketa dengan masyarakat akan benar-benar beroperasi full (penuh),” tegasnya.
PT Puncak Emas Tani Sejahtera (PETS) dan PT Gorontalo Sejahtera Mining (GSM) – anak usaha PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA) di Kecamatan Buntulia – sudah menguasai lahan tambang emas yang sudah sejak dulu dikelola oleh warga sekitar.
Adapun lokasi pertambangan itu terletak di sekitar Gunung Pani.
Secara administratif Gunung Pani termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Taluditi, Buntulia dan Paguat. Akan tetapi, sebagian wilayah Gunung Pani berada di kawasan Cagar Alam Panua, yang merupakan area perlindungan burung maleo, dan termmasuk dalam kawasan hutan.
Apa akar masalah konflik dua dekade ini?
Sebuah penelitian mengungkap bahwa tambang emas di wilayah itu ditemukan pada 1930-an dan dikelola oleh pemerintah kolonial Belanda. Setelah Indonesia merdeka, rakyat merebut tambang tersebut pada 1950-an dan hingga kini dikelola oleh masyarakat penambang Pohuwanto.
Sekitar 30 tahun kemudian, pada 1980-an, KUD Dharma Tani marisa dibentuk untuk melegitimasi akvitias pertambangan di wilayah itu agar masyarakat tak dituduh mencuri emas di tanah leluhurnya.
Pada tahun 2009, KUD ini mendapatkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) dengan luas 100 hektar. Mereka pun bekerjasama dengan perusahaan tambang asal Australia, One Asia Resources dalam pengelolaan emas.
Pada tahun 2009, KUD ini mendapatkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) dengan luas 100 hektar. Mereka pun bekerjasama dengan perusahaan tambang asal Australia, One Asia Resources dalam pengelolaan emas.
Namun, pada akhir 2013, KUD secara sepihak memutuskan kerjasama dengan One Asia Resources, salah satu alasannya perusahaan itu tidak bisa memenuhi permintaan pinjaman dan sebesar Rp10 miliar ke koperasi.
Pada awal 2014, KUD kemudian menjalin kerjasama dengan PT J Resources Asia Pasifik Tbk (PSAB) melalui anak perusahaannya, PT Gorontalo Sejahtera Mining (GSM).
GSM memegang konsesi Kontrak Karya (KK) seluas 7.932,1 hektar yang berdekatan dengan lahan tambang KUD.
GSM dan KUD Dharma Tani kemudian membuat perusahaan patungan bernama PT Puncak Emas Tani Sejahtera (PETS), dengan KUD Dharma Tani Marisa tercatat sebagai pemilik saham mayoritas sebesar 51%.
Demonstrasi beberapa kali terjadi di masa ini.
Pada tahun 2015, Gubernur Gorontalo mengeluarkan keputusan mengalihkan izin usaha pertambangan operasi produksi emas dari KUD Dharma Tani kepada PETS. Dengan dasar itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pun memberi izin pinjam pakai kawasan hutan kepada PETS.
Pada tahun 2021, PT J Resources Asia Pasifik Tbk (PSAB) menjual seluruh saham GSM ke PT Andalan Bersama Investama (ABI) karena masalah keuangan yang dihadapi.
Saham PT ABI dan PT Pani Bersama Jaya (PBJ) kemudian diakusisi oleh PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDK). Dengan begitu, MDKA menjadi pemilik saham mayoritas GSM dan PETS yang mengelola emas di gunung pani dengan nama proyek Pani Gold Project (PGP).
Adapun pemilik saham terbesar MDKA saat ini adalah PT Saratoga Investama Sedaya Tbk (SRTG) milik Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno dengan kepemilikan saham 18,569%. Sementara taipan pertambangan Garibaldi ‘Boy’ Thohir – yang juga kakak dari Menteri BUMN Erick Thohir – memiliki saham sebesar 7,358 persen di MDKA. Boy Thohir juga tercatat menjabat sebagai komisaris utama perusahaan PETS.
Di masa transisi peralihan saham GSM dan PETS ke MKDA ini, demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat penambang terus bergulir, apalagi dengan adanya upaya penertiban Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) yang coba dilakukan aparat kepolisian.
Masyarakat penambang menuntut pemerintah menetapkan Wilayah Pertambang Rakyat (WPR).
Alhasil, pada April 2022, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akhirnya menetapkan 21 dititik WPR di Gorontalo, termasuk di wilayah Kecamatan Buntulia, berdampingan dengan lahan konsesi GSM dan PETS.
Namun masalah tak berakhir sampai di situ. Lokasi penambangan warga tak semuanya berada di dalam wilayah pertambangan rakyat yang sudah ditetapkan pemerintah. Mereka juga berada di wilayah perusahaan GSM dan PETS yang sudah mendapatkan izin operasi produksi sejak 2017 dan 2020 yang berlaku hingga 2049.
Tumpang tindih inilah yang membuat konflik antar perusahaan dan warga penambang semakin memanas. Apalagi, sejak awal tahun 2023, perusahaan mulai mengeksplorasi gunung Pani.
Warga penambang lokal mulai merasa terancam akan kehilangan mata pencahariannya. Secara perlahan, perusahaan mulai membatasi aktivitas mereka mengais rejeki di wilayah itu.
Tak mau dibatasi, warga penambang berulang-ulang kali melakukan demonstrasi di kantor perusahaan, Bupati Pohuwato, hingga Kantor DPRD Pohuwato. Bahkan, mereka melakukan blokade jalan di akses jalan yang dilalui kendaraan perusahaan.
Konflik itu sedikit menemukan titik temu ketika GSM dan PETS, melalui perusahaan induknya MDKA, memberikan kompensasi, disebut “tali asih” oleh perusahaan, kepada warga penambang agar tidak melakukan aktivitas di wilayah perusahaan.
Pada 2022, puluhan penambang lokal sudah menerima kompensasi dari perusahaan senilai Rp5 juta per proposal. Satu proposal dihitung sama dengan satu lokasi lahan tambang yang dikelola warga. Namun, sebagian penambang lokal kembali protes atas nilai kompensasi yang diberikan.
Daud Ismail, salah satu penambang lokal mengatakan, nilai ganti rugi yang dijanjikan perusahaan berkisar Rp2,5 juta hingga Rp5 juta untuk satu titik lokasi. Menurutnya, kompensasi sebesar itu hanya bisa membiayai hidupnya selama satu bulan saja.
Padahal, kata Daud, perusahaan akan mengelola wilayah pertambangan itu sekitar 25 tahun ke depan.
“Harga itu tidak cukup sekali bagi kami untuk bertahan hidup beberapa bulan ke depan,” tutur Daud.
Dia menambahkan, dirinya bisa mendapatkan lebih dari Rp5 juta per bulan ketika menambang emas secara tradisional.
Di penghujung 2022, beberapa kali warga penambang kembali melakukan demonstrasi menolak program tali asih, yang disebut mereka sebagai “ganti rugi lahan”. Mereka berkali-kali mendatangi Kantor Bupati dan DPRD, meminta pembayaran ganti rugi lahan itu bisa dimediasi.
Pemda Pohuwato akhirnya membuat satuan tugas (satgas) pada awal 2023, untuk memediasi pelaksanaan program itu. Pada Februari 2023, satgas mulai melakukan pendataan dan mendokumentasikan lahan-lahan penambang lokal yang akan dimasukan dalam program itu.
Hingga Agustus silam, sebanyak 2.135 berkas proposal sudah diverifikasi. Tiga di antara proposal itu adalah milik Daud Ismail.
Daud mematok nilai ganti rugi untuk satu berkas proposal sebesar Rp50 juta. Artinya, ada sekitar Rp150 juta yang semestinya diterima Daud. Bagi Daud, angka itu layak dia terima, jika dibandingkan pendapatan perusahaan dari pengelolaan emas di Gunung Pani.
Alih-alih mendapat ganti rugi yang sesuai, nilai lahan warga penambang hanya Rp2,5 juta untuk tiap titik lokasi, setengah dari nilai kompensasi yang diberikan perusahaan oleh perusahaan.
Alih-alih mendapat ganti rugi yang sesuai, nilai lahan warga penambang hanya Rp2,5 juta untuk tiap titik lokasi, setengah dari nilai kompensasi yang diberikan perusahaan oleh perusahaan.
Oleh karena itulah, Abdul Rizal Lasantu dan Ramin Igrisa kembali melakukan demonstrasi pada 21 September silam, kata kuasa hukum mereka, Ali Rajab.
“Warga penambang menolak saat perusahaan menghargai lahan itu hanya Rp2,5 juta rupiah per satu titik lokasi. Penolakan harga ganti rugi itu yang menjadi sumber masalah hingga ada aksi pada 21 September kemarin,” jelas Ali.
Ketua Asosiasi Penambang Rakyat Indonesia (APRI) Pohuwato, Limonu Hippy, mengatakan nilai ganti rugi terhadap masyarakat lahan yang tak layak menjadi pemicu demonstrasi yang berujung ricuh dan pembakaran kantor bupati.
“Perusahaan berjanji akan memberikan bantuan dari program tali asih itu dengan jumlah yang layak. Tetapi, realisasinya itu sangat tidak layak, yaitu hanya minimal Rp2,5 juta dalam satu berkas proposal,” kata Limonu Hippy.