
HARIAN DETEKSI – Profil John Lie, Jenderal TNI AL keturunan Tionghoa saksi kemerdekaan Indonesia akan dibahas dalam artikel ini
Dalam sejarah TNI AL, nama John Lie tidak asing karena sepak terjangnya saat kemerdekaan Indonesia. John Lie memiliki kemampuan menyelundupkan senjata untuk kepentingan perjuangan kemerdekaan Indonesia tanpa diketahui siapapun, sehingga ia dijuluki “Hantu Selat Malaka”.
John Lie lahir di Manado pada 9 Maret 1911 dengan nama asli Lie Tjeng Tjoan. Meskipun ia keturunan Tionghoa, John Lie memiliki rasa nasionalisme yang tidak kalah jika dibandingkan tokoh-tokoh pribumi lainnya. Ia memiliki nama Indonesia yaitu Jahja Daniel Dharma dan pengalamannya dalam dunia laut tidak bisa dianggap remeh.
Dilansir dari beberapa sumber, Kamis (5/10/2023), berawal setelah kekalahan Jepang akibat pengeboman Hiroshima 6 Agustus dan Nagasaki 9 Agustus 1945, John Lie dan teman-temannya yang bekerja di maskapai pelayaran KPM (Koninlijk Paketvaart Maatschapij) pulang ke Indonesia.
Saat perjalanan pulang ke Indonesia John Lie mampir selama 10 hari di Singapura, tujuannya untuk mempelajari sistem pembersihan ranjau laut dari Royal Navy dan taktik perang laut di Pelabuhan Singapura.
Ia mempelajari itu semua agar bisa bergabung dengan laskar perjuangan. Namun, saat tiba di Indonesia ia mengumpulkan uang terlebih dahulu di Yogyakarta.
Pada Mei 1946, ia akhirnya bergabung denga Laskar Kebaktian Rakyat Indonesia (KRIS). Kemudian ia bercerita kepada Kepala Staf Angkatan Laut RI (ALRI) Laksamana M Pardi tentang keahliannya yang dipelajari saat di Singapura, serta keinginannya untuk ikut mempertahankan kemerdekaan Indonesia melalui pertahanan maritim.
John Lie diangkat sebagai Kelasi III dan diberi mandat oleh Pardi untuk bergabung dengan ALRI di pelabuhan Cilacap pada 29 Agustus 1946.
Pada September 1947, ia mendapat tugas untuk memimpin kapal cepat bernama “The Outlaw” dan melakukan operasi rute Singapura-Labuan Bilik dan Port Swettenham. Itulah awal John Lie berhasil menyelundupkan senjata tanpa diketahui oleh Belanda.
Kemudian misi pertamanya sukses pada Oktober 1947, menggunakan kapal yang sama ia membawa perlengkapan militer berupa senjata semi otomatis, ribuan butir peluru dan perbekalan dari salah satu pulau di Selat Johor ke Sumatera.
Pada Agustus 1949, “The Outlaw” menjalani perbaikan total dengan naik galangan atau docking di Penang.
Tiba-tiba kapal Belanda saat memasuki Delta Tamiang, dengan membabibuta kapal penjajah menembakkan meriam ke badan “The Outlaw”. Suasana sangat mencekam, peluru mendesing-desing, ledakan terjadi di jarak 3 meter tempat John Lie berlindung.
Dalam kondisi mencekam itu, “The Outlaw” sama sekali tidak berdaya. Namun, ada keajaiban kapal yang menembakinya kehabisan bahan bakar sehingga “The Outlaw” berhasil kabur.
Perjalanan mencekam Phuket-Aceh itu juga terus dipantau radio BBC di London. Penyiar BBC menyebut, “The Outlaw” dengan segala pengalamannya lolos dari sergapan kapal Belanda adalah kejadian di luar nalar.
Pada 30 September 1949 ia dipindahkan ke Bangkok dan ditugaskan di Pos Hubungan Luar Negeri untuk lebih banyak memasok senjata para pejuang tanah Air.
John Lie kemudian melanjutkan tugasnya di TNI AL dalam sejumlah misi penting. Mulai dari penumpasan DI/TII Kartosuwiryo, penumpasan RMS hingga PRRI-Permesta.
Pangkat tertinggi John Lie adalah Laksamana Muda, pangkat tertinggi bagi pejuang keturunan Tionghoa di Indonesia. Kemudian ia meninggal pada 27 Agustus 1988.
Pada 9 November 2009 masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, menganugerahkan Gelar Pahlawan Nasional dan Bintang Mahaputera Adipradana kepada mendiang John Lie.