Kam. Nov 30th, 2023
-Bangkal

Masyarakat Desa Bangkal, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah, dalam beberapa bulan terakhir terus menuntut perusahaan kelapa sawit PT. Hamparan Masawit Bangun Persada (HMBP) agar melunasi janjinya untuk memberikan lahan plasma sawit kepada mereka.

Akhir pekan lalu, aksi unjuk rasa mereka tak berujung pemenuhan janji yang disebutkan sudah satu dekade tidak terealisasi, melainkan berujung penembakan dan kematian salah-seorang warga.

Kematian satu orang warga ini mengundang keprihatinan dan kemarahan. Muncul tuntutan dari berbagai kalangan agar kepolisian mengusutnya.

Dan di tengah situasi itulah, Gubernur Kalimantan Tengah, Sugianto Sabran, Senin (09/10) kemarin, menyerahkan segepok uang kepada perwakilan warga Desa Bangkal, untuk menenangkan amarah mereka sekaligus jaminan bahwa PT. HMBP akan segera memberikan lahan plasma.

BBC Indonesia sudah menghubungi PT. BHMP melalui email, tapi hingga berita ini diturunkan perusahaan tersebut belum memberikan respons.

Apa penyebab kematian warga Desa Bangkal?

Seorang warga Bangkal bernama Gijik, pada 7 Oktober lalu, kehilangan nyawa saat dia dan banyak tetangga desanya memblokade jalan dan menutup akses perusahaan menuju kebun sawit yang diduga ilegal karena berdiri di luar batas izin pemerintah.

Aksi menutup jalan itu, menurut masyarakat Bangkal, dipicu perusahaan yang terus-menerus ingkar janji menyerahkan lahan sawit seluas dua hektare kepada setiap keluarga desa tersebut.

Namun blokade jalan dan demonstrasi warga itu dihadapi kepolisian dengan menerjunkan pasukan Brimob bersenjata lengkap.

Seorang warga menunjukan selongsong peluru yang ditemukan di lokasi bentrokan.

Gijik tewas dalam peristiwa itu. Koalisi lembaga masyarakat sipil menyebut peluru bersarang di dadanya. Mereka menuduh polisi yang menembak Gijik.

Sebelum Gijik tewas, perintah penembakan gas air mata terdengar dari sisi pasukan kepolisian.

“Gas air mata, persiapan!” Dalam rekaman video peristiwa itu, sejumlah warga perempuan yang turut berunjuk rasa merespons dengan berkata, “Jangan terpancing.”

Mereka mengulangi perkataan itu beberapa kali. Namun terdengar lagi perintah dari komandan kepolisian, “Sandiaga, bidik kepalanya! Bidik!”

Sang komandan kepolisian mengeluarkan perintah lainnya. “AK persiapan! AK persiapan!” AK merujuk senapan laras panjang yang dimiliki Brimob.

Seorang warga memperlihatkan luka di lengannya usai bentrokan dengan aparat polisi.

“Ayo kita bermain! Rekan-rekan sudah tidak bisa diperingatkan lagi,” ujarnya kepada warga Bangkal.

Kurang dari sepuluh detik kemudian, komandan polisi itu mengeluarkan perintah, “Gas air mata tembakkan ke arah warga!”

Warga Bangkal yang berunjuk rasa menuntut hak mereka itu lantas berlarian ke balik pohon sawit. Sebagian dari mereka membalas kepolisian dengan melontarkan batu dari katapel.

Dalam peristiwa inilah Gijik tewas. Satu warga Bangkal lain yang bernama Taufiknurahman juga terluka parah karena tembakan, menurut otoritas Rumah Sakit Doris Sylvanus, mengenai pembuluh darah dan sarafnya.

“Kasus kematian warga Seruyan dan penembakan ini masuk kategori extra judicial killing, pembunuhan tanpa proses hukum atau putusan pengadilan,” kata Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palangka Raya, Aryo Nugroho.

Polisi mengamankan 20 orang warga yang melakukan aksi menuntut plasma sawit ke PT Hamparan Mawasit Bangun Persada (HMBP) di Seruyan, Kalimantan Tengah (Kalteng).

Kepolisian di Kalimantan Tengah membenarkan adanya bentrokan. Kabid Humas Polda Kalimantan Tengah, Kombes Erlan Munaji, mengeklaim hal itu terjadi karena massa membawa “ketapel dan tombak”.

Orang-orang itu kemudian “terpaksa diamankan”, kata Erlan kepada Kompas.com, “namun warga tidak terima.”

“Sehingga warga melakukan perlawanan dan menyerang petugas,” ujarnya pada Sabtu (07/10).

Tentang dugaan penembakan yang dilakukan oleh aparat polisi, Erlan mengeklaim semua petugas sudah menjalankan tugas sesuai aturan.

Tidak ada anggota polisi yang dibekali dengan peluru peluru tajam, hanya dibekali dengan gas air mata, peluru hampa dan peluru karet,” jelasnya.

Klaim ini ditolak keluarga korban, kata Aryo Nugroho. “Pihak keluarga bilang korban ditembak peluru tajam.”

“Peluru karet atau peluru tajam, yang jelas kejadian ini harus diproses secara hukum, harus ada yang dimintai pertanggungjawaban atas kematian ini,” tegas Aryo.

Bagaimana konflik ini bermula?

Peristiwa berdarah akhir pekan lalu adalah puncak dari konflik yang terjadi sejak 16 tahun silam, menurut James Watt, warga Desa Bangkal.

Dia berkata PT. HMBP mulai masuk ke desanya pada tahun 2007.

Masyarakat, kata dia, terbelah saat merespons kehadiran perusahaan kelapa sawit ini: ada yang menolak, tapi ada juga yang menerima.

Namun sikap warga desa itu muncul dalam situasi yang serba tidak jelas.

James menyebut PT. HMBP tidak pernah melakukan sosialisasi kepada warga soal rencana kerja mereka, termasuk tahap penggundulan hutan dan ganti rugi lahan kepada masyarakat.

Gubernur Kalimantan Tengah, Sugianto Sabran, Senin (09/10) kemarin, menyerahkan segepok uang kepada perwakilan warga Desa Bangkal, untuk menenangkan amarah mereka sekaligus jaminan bahwa PT. HMBP akan segera memberikan lahan plasma.

“Mereka waktu itu datang ke desa, lalu menyewa rumah warga dan menjadikannya kantor mereka,” kata James.

Informasi soal siapa dan apa yang akan dilakukan PT. HMBP, seingat James, diberikan oleh Darwan Ali yang kala itu menjabat Bupati Seruyan.

Darwan datang ke Desa Bangkal dan “memohon agar warga desa menerima perusahaan ini”.

Darwan, kata James, kala itu berkata bahwa perusahaan sawit itu akan menyejahterakan masyarakat, salah satunya dengan membuka lapangan pekerjaan.

Perusahaan kelapa sawit itu mulai beroperasi sejak Darwan Ali bertemu warga Bangkal.

Namun ketidakpuasan masyarakat tidak pernah benar-benar padam, terutama karena kesejahteraan yang dijanjikan pemerintah daerah dan perusahaan tidak kunjung terwujud.

Persoalan ini kemudian diselesaikan dengan perjanjian yang diteken pada 26 Oktober 2013.

Perjanjian inilah yang pada tahun-tahun setelahnya menjadi dasar konflik, memicu gelombang unjuk rasa, termasuk peristiwa berdarah 7 Oktober lalu.

Perjanjian antara PT. HMBP dan masyarakat Desa Bangkal itu memuat tiga poin.

Yang pertama, perusahaan menyatakan akan berkontribusi pada pembangunan infrastruktur desa, dari penyediaan air bersih hingga jaringan listrik ke rumah warga, pendirian sekolah dan pemberian beasiswa pendidikan, pembuatan tambak ikan.

Poin pertama ini juga mengatur bahwa PT. HMBP akan menyelesaikan perseoalan lahan masyarakat yang berada di dalam batas hak guna usaha mereka.

Pada poin kedua, PT HMBP berjanji akan membangun kebun plasma untuk warga Desa Bangkal.

Setiap kepala keluarga dinyatakan akan mendapat dua hektare kebun. Dalam poin kedua ini terdapat pernyataan bahwa PT. HMBP akan merealisasikan penyediaan kebun plasma itu paling lambat awal Januari 2014.

Tiga orang dari pihak PT. HMBP meneken perjanjian itu. Ketiganya adalah pejabat dari PT. Best Agro International, induk PT. HMBP.

Satu orang peserta unjuk rasa yang dirawat di rumah sakit akibat terluka.

Nama ketiganya adalah Wahyu Bima Dharta, Aris Siahaan, dan Arief Nasution. Kepala Polsek dan Koramil Danau Sembuluh era itu turun menandatangani perjanjian, sebagai pihak yang turut menyaksikan resolusi konflik tersebut.

Adapun, warga Desa Bangkal diwakili tiga orang. James Watt meneken sebagai koordinator lapangan masyarakat Bangkal. Dua lainnya adalah Saptono dan Sibin.

Yulhaidir, Bupati Seruyan saat ini, juga menaruh parafnya pada dokumen itu. Kala itu dia berstatus sebagai wakil bupati kabupaten tersebut.

Lebih dari satu dekade usai penandatangan perjanjian itu, janji penyediaan kebun plasma sebagai medium pendongkrak kesejahteraan warga tidak kunjung terlaksana.

“Setelah belasan tahun kehadiran perusahaan, habislah sudah kesabaran masyarakat,” kata James Watt.

Sejauh ini PT. HMBP belum memberikan keterangan resmi terhadap keluhan warga setempat.

Pada Selasa (10/10), BBC Indonesia sudah menghubungi PT. BHMP melalui email, tapi hingga berita ini diturunkan (Rabu, 11 Oktober 2023), perusahaan tersebut belum memberikan respons.

Sementara itu, Eddy Martono, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), asosiasi yang menaungi PT. BHMP, belum bersedia angkat bicara perihal persoalan yang terjadi di Seruyan. Dia beralasan, tengah berada di luar negeri.

Situasi itu lalu memicu konflik dengan warga, persis seperti yang terjadi di Desa Bangkal, Seruyan.

Dalam sejarah industri sawit di Hindia Belanda dan kemudian Indonesia, hanya perusahaan swasta dan BUMN eks nasionalisasi perkebunan era kolonial yang bisa mengelola kebun kelapa sawit.

Pada dekade 1970-an, rezim Orde Baru membuat inisiatif baru.

Inisiatif itu terinspirasi dari model sel biologis, di mana sebuah sel memiliki dua bagian, yaitu inti dan plasma.

Dengan skema kemitraan, perusahaan bertindak sebagai ‘inti’ sementara masyarakat dan petani di sekitarnya menjadi ‘plasma’.

‘Inti’ diharapkan dapat membantu ‘plasma’, mempersiapkan dan membina plasma, memelihara, mengelola dan menampung hasil kebun plasma.

Tahun 1977, konsep kemitraan Nucleus Estate and Smallholders (NES) mulai diterapkan, dengan pembiayaan dibantu dari luar negeri, salah satunya Bank Dunia.

Pemerintah memberikan insentif bagi perusahaan sawit yang berkomitmen memberikan hingga 80% area tanam mereka untuk plasma.

Lalu muncul skema PIR-Trans, yang ditetapkan pemerintah pada tahun 1986, untuk membantu para transmigran dari Jawa yang pindah ke sebelas provinsi lain.

Sejumlah regulasi mengatur perihal kebun plasma. Peraturan Menteri Pertanian 26/2007 misalnya, mewajibkan perusahaan yang memegang Izin usaha perkebunan membangun kebun untuk masyarakat, minimal seluas 20% dari total area kebun perusahaan.

‘Kebun perusahaan di lahan ilegal’

Selain janji soal kebun sawit, masyarakat Desa Bangkal mempermasalahkan PT. HMBP dalam perihal lainnya.

Warga menuduh perusahaan itu telah membuka kebun kelapa sawit seluas 1.175 hektare di luar batas yang tertuang dalam dokumen hak guna usaha mereka.

Izin usaha perkebunan yang dimiliki PT. HMBP dikeluarkan Bupati Seruyan pada 13 Februari 2006.

Dokumen itu memberikan mereka lahan seluas 11.200 hektare yang dapat dimanfaatkan dalam status hak guna usaha.

Selama bertahun-tahun tanah milik warga Bangkal diubah menjadi kebun sawit oleh PT. HMBP, kata Muhammad Habibi, Direktur Save Our Borneo, sebuah lembaga non-pemerintah yang mendampingi masyarakat melawan korporasi.

Dia berkata, pengambilan dan perubahan fungsi lahan itu dilakukan perusahaan yang berdalih bahwa tanah warga itu masuk dalam dokumen hak guna usaha.

Namun belakangan warga mendapatkan informasi bahwa kebun sawit PT. HMBP telah merambah keluar hingga sekitar 1.175 hektare dari batas hak guna usaha mereka.

Persoalan ini memicu tuntutan lain warga Bangkal kepada perusahaan, selain perihal kebun plasma.

Warga Bangkal, kata Habibi, menuntut agar pengelolaan kebun sawit di area seluas 1.175 hektare itu diserahkan kepada masyarakat.

“Jumlah luas lahan itu juga sebenarnya didapatkan warga dari perusahaan dan pemerintah daerah. Masyarakat tidak mengukurnya sendiri,” ujar Habibi.

Sebelum peristiwa berdarah akhir pekan lalu, Habibi menyebut warga sudah dua kali bertemu dengan perwakilan PT. HMBP di Kabupaten Sampit, yaitu pada 25 dan 27 September. Tidak ada kata sepakat dalam forum tersebut.

PT. HMBP, kata Habibi, enggan menyerahkan pengelolaan kebun seluas 1.175 hektare kepada masyarakat.

Sebagai gantinya, perusahaan dan pemerintah Kabupaten Seruyan hanya bersedia memberi uang kompensasi sebesar Rp300 ribu per bulan, untuk setiap keluarga yang tanahnya masuk dalam kebun di luar area hak guna usaha tersebut.

“Warga tidak setuju karena ganti rugi diberikan dalam bentuk uang. Buat masyarakat ini tidak adil karena perusahaan sudah beroperasi dari 2007, sudah mengambil keuntungan yang besar,” kata Habibi.

“Warga sudah berhitung, jika mereka kelola setiap satu hektare kebun sawit, hasil yang mereka peroleh akan lebih dari Rp300 ribu,” tuturnya.

Gubernur janjikan solusi

Gubernur Kalimantan Tengah, Sugianto Sabran, dan kakak kandungnya yang berstatus anggota DPR dari provinsi itu, Agustiar Sabran, Senin kemarin bertemu dengan perwakilan warga Bangkal.

Sugianto, kata James Watt, menyerahkan segepok uang kepada warga sebagai jaminan bahwa PT. HMBP akan segera melunasi janji kebun plasma.

Dalam forum itu, hadir pula petinggi militer dan pejabat lain yang tergabung dalam Forum Komunikasi Pemimpin Daerah Kalimantan Tengah.

James berkata, warga Bangkal menyampaikan aspirasi dan tuntutan yang selama ini mereka sampaikan pada pertemuan dengan perusahaan maupun di area perkebunan saat melakukan unjuk rasa.

“Kita lihat saja sampai satu minggu ke depan, apakah yang dijanjikan pemerintah bisa terwujud,” kata James.

Sugianto dan Agustiar sebelumnya diklaim telah memberikan jaminan kepada kepolisian untuk membebaskan 20 warga Bangkal yang ditahan usai unjuk rasa berdarah 7 Oktober lalu.

LBH Palangka Raya menyebut 20 orang itu secara hukum acara pidana memang harus dilepaskan oleh kepolisian pada 8 Oktober, atau satu hari sejak penangkapan.

PT. HMBP dan ‘jejak negatif’

PT. HMBP menginduk pada PT. Best Agro International, konglomerasi yang sahamnya dimiliki oleh dua bersaudara: Rendra Tjajadi dan Winarno Tjajadi.

Keluarga Tjajadi belakangan tenar dan disebut sebagai crazy rich Surabayans alias orang super kaya dari Surabaya.

Keluarga ini pada tahun 2018 menjadi pemberitaan saat Jusup Maruta, putra Rendra, menggelar pernikahan mewah di Bali.

PT. HMBP dalam satu dekade terakhir muncul dalam berbagai riset, baik dari kalangan pegiat advokasi HAM maupun akademisi. Narasi perusahaan ini dalam sejumlah kajian itu kerap kali bernada negatif.

Pada 2016, Amnesty International memasukkan perusahaan ini ke dalam daftar perusahaan kelapa sawit yang bermasalah dalam isu perburuhan.

Dalam laporan berjudul The Great Palm Oil Scandal , PT. HMBP disebut mempekerjakan buruh anak, menerapkan jam kerja di luar batas kewajaran, tak mematuhi batas upah minimum pekerja, mengabaikan kesehatan dan keselamatan buruh, dan melakukan diskriminasi gender.

Wilmar International Limited, perusahaan agribisnis Singapura yang merupakan salah satu produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia, pernah menjadikan PT. HMBP sebagai perusahaan pemasok mereka.

Namun setelah laporan skandal perburuhan Amnesty International, mereka membuat klaim telah memutus hubungan dengan PT. HMBP terhitung per Juni 2017.

PT. HMBP juga beberapa kali berurusan di pengadilan terkait kebun sawit mereka.

Pada 2020, James Watt divonis bersalah dan dijatuhi hukuman 10 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Sampit atas dakwaan mencuri buah sawit di kebun PT. HMBP.

Kasus itu memidanakan dua warga lainnya. Satu di antaranya, Hermanus Bison, meninggal dalam tahanan.

Kasus pidana yang menimpa James dan Hermanus hingga saat ini masih kontroversial.

Alasannya, kebun sawit yang disebut sebagai lokasi pencurian buah sawit diduga berada di luar area hak guna usaha PT. HMBP.

BBC Indonesia sudah menghubungi PT. BHMP melalui email untuk mengklarifikasi tuduhan seperti itu, tapi hingga berita ini diturunkan perusahaan tersebut belum memberikan respons.

Apa kelanjutan dari peristiwa berdarah 7 Oktober?

Polda Kalimantan Tengah beberapa kali membuat klaim bahwa pasukan mereka tidak memiliki peluru tajam saat berhadapan dengan warga Desa Bangkal, Sabtu lalu.

Namun mereka menyebut Divisi Propam akan menginvestigasi kejadian yang berujung kematian seorang warga itu.

Mengutip CNN Indonesia, Kabid Humas Polda Kalimantan Tengah berkata institusinya sudah menggelar rekonstruksi peristiwa tersebut.

Senin (09/10) sore kemarin mereka juga meminta keterangan dari enam personel yang bertugas di Desa Bangkal saat penembakan terjadi.

Warga berkumpul di depan lokasi kebun kelapa sawit PT Hamparan Masawit bangun Persada (HMBO) sebelum unjuk rasa digelar, Sabtu (07/10).

Dalam catatan Direktur LBH Palangka Raya, Aryo Nugroho, kepolisian di provinsi itu sebelumnya diduga bertanggung jawab atas tiga kasus penembakan terhadap warga yang tengah berkonflik dengan perusahaan sawit.

Kejadian pertama, kata Aryo, terjadi tahun 2014 di Desa Penyang, Kotawaringin Timur. Warga yang tertembak dan kemudian tewas bernama Aja Siswanto.

Kejadian kedua, juga menyebabkan seorang warga meninggal terjadi tahun 2015 di kabupaten yang sama.

Adapun satu kasus lainnya tidak menyebabkan kematian, yaitu penembakan yang diduga dilakukan kepolisian terhadap tiga warga di Kotawaringin Timur.

Aryo mendesak pembentukan tim investigasi mandiri di luar institusi Polri untuk mengusut seluruh kejadian itu.

Tujuannya bukan cuma menindak polisi yang bertanggung jawab, tapi juga “mencegah berulangnya penembakan terhadap warga”.

Merespons kejadian di Desa Bangkal, Komisioner Komnas HAM, Uli Parulian Sihombing menyebut lembaganya akan turut menyelidiki peristiwa akhir pekan lalu.

“Kami meminta Kapolda untuk melakukan penegakan hukum terhadap anggota kepolisian atau pihak lain yang melakukan kekerasan dan mengakibatkan korban meninggal dunia dan luka berat,” ujarnya.

By admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *