Kam. Nov 30th, 2023
-Gaza

Harian deteksi– Jalur Gaza yang kecil, terbentang sepanjang 41 kilometer dan lebar 10 kilometer, telah menjadi perhatian dunia belakangan ini setelah kelompok milisi Hamas melancarkan serangan yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap Israel dari wilayah tersebut.

Lebih dari 2.000 orang tewas akibat serangan Hamas dan serangan balasan Israel terhadap Jalur Gaza, yang kini telah dikepung.

Dari Gaza, para milisi melintasi perbatasan dan masuk ke Israel, lalu ribuan roket Hamas diluncurkan. Dan kini, aksi balasan Israel ditujukan ke Gaza.

Gaza berbatasan dengan Laut Mediterania, Israel, dan Mesir. Kota ini dihuni oleh 2,3 juta warga Palestina, menjadikannya salah satu wilayah paling padat penduduk di dunia.

Kota besar dunia seperti London memiliki kepadatan penduduk 5.700 orang per kilometer persegi, sedangkan Gaza dipadati oleh lebih dari 9.000 jiwa per kilometer persegi.

Sementara DKI Jakarta, dengan luas mencapai 661,23 km persegi dan jumlah total penduduk 11,25 juta jiwa pada Juni 2022, memiliki kepadatan penduduk di ibu kota mencapai 17.013 jiwa per kilometer persegi.

Sejak Gaza berada di bawah kendali kelompok Hamas pada 2007, Israel dan Mesir menyepakati blokade yang membatasi pergerakan warga sipil Palestina.

Zona pertahanan yang didirikan oleh Israel di sepanjang perbatasan untuk melindungi dari serangan roket maupun serangan Hamas telah menyebabkan terbatasnya lahan yang tersedia untuk pemukiman dan pertanian.

Perekonomian Gaza juga berada di ambang kehancuran karena ekspor dan impor yang terbatas.

Menurut Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina (OOPS), tingkat kelaparan di Gaza melebihi 46%.

Separuh warga Palestina di Gaza berusia di bawah 19 tahun, namun mereka nyaris tidak memiliki peluang perbaikan sosial ekonomi. Akses mereka terhadap dunia luar juga terbatas.

Lebih dari 80% penduduknya hidup dalam kemiskinan. Program Pangan Dunia menyebut bahwa 63% penduduk Gaza “rawan kelaparan” dan bergantung pada bantuan kemanusiaan.

Menurut PBB, hampir 600.000 pengungsi di Gaza tinggal di delapan kamp yang penuh sesak.

Sekitar 95% penduduknya tidak mempunyai akses air minum, dan ini turut diperparah oleh pemadaman listrik yang terjadi setiap hari.

Menurut Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA), sebelum konflik terjadi, sebagian besar rumah hanya mendapat aliran listrik selama tiga jam sehari.

Saat ini, militer Israel telah memutus semua pasokan listrik.

Jalur Gaza mendapatkan sebagian besar suplai listriknya dari Israel, serta dari satu pembangkit listrik di Gaza dan sebagian kecil lainnya dari Mesir.

Isolasi ini telah memperburuk kehidupan warga Palestina.

Human Rights Watch membandingkan kondisi di Gaza dengan “penjara terbuka.”. Sementara delegasi PBB mengatakan bahwa kawasan itu “tidak layak huni”.

Situasi di Gaza dikhawatirkan akan semakin buruk akibat konflik dengan Israel yang kian intens.

“Setiap kali terjadi gempuran, rasanya seperti gempa bumi menghantam gedung. Saya merasakan jantung saya berdebar ketakutan dan seluruh tubuh saya gemetar,” kata Nadiya yang enggan menyebutkan nama aslinya.

Pada Senin (09/10) pagi, dia dibangunkan oleh suara pintu dan jendela yang pecah. “Gempuran dimulai pada pukul 08.00 pagi dan berlangsung hingga tengah malam. Tidak berhenti sedetik pun.”

Ibu dari dua anak laki-laki – satu berusia lima tahun, satu lagi berusia tiga bulan – tinggal di rumah susun yang baru saja dibeli dan didekorasi oleh keluarganya. Dia bertahan di sana bersama kedua anaknya, sementara suaminya – seorang dokter di organisasi bantuan internasional – menangani korban luka di lapangan.

Ini adalah jenis pengetahuan yang tidak diharapkan dapat dipahami oleh anak berusia lima tahun, namun bagi Nadiya, ini adalah cara terbaik saat ini.

Bagaimanapun, ledakan masih berdampak bagi keluarganya karena bayi laki-lakinya yang berusia tiga bulan mengalami kejang-kejang dan menolak makan.

Seorang perempuan Palestina menyelamatkan barang-barang dari dalam rumahnya yang hancur akibat gempuran Israel di bagian selatan Jalur Gaza, 8 Oktober 2023 lalu.

Selama beberapa hari terakhir, Nadiya menolak meninggalkan rumahnya yang “setiap sudutnya memiliki kenangan”. Namun pada Senin (09/10) malam, dia mendengar tetangganya berlari menuruni tangga sambil berteriak: “Evakuasi! Evakuasi!”

Ibu muda itu ragu-ragu selama beberapa detik, otaknya bingung memutuskan apa yang harus dibawa. Kemudian dia menangis karena ketidakberdayaan dan ketakutan.

Dia meninggalkan gedung tersebut bersama kedua anaknya, namun mengatakan dia tidak dapat mengenali lingkungan tersebut karena bangunan di sekitar bloknya telah rata dengan tanah.

Dia kini berusaha untuk sampai ke rumah orang tuanya dengan selamat, namun dia berkata: “Di mana kita bisa bersembunyi ketika kematian datang dari langit?”

Nadiya dan warga Gaza lainnya yang berbicara dengan BBC mengatakan skala kerusakan di Gaza belum pernah terjadi sebelumnya.

‘Tiada tempat yang aman di Gaza’

Di kawasan lain, Dina, 39 tahun, berlindung dari serangan udara Israel bersama ibu, ayah, saudara perempuan, dan dua keponakannya di vila mereka yang memiliki taman. Mereka tinggal di daerah pesisir kelas atas, Rimal.

Sebelum serangan Israel berlangsung, kawasan Rimal merupakan kawasan permukiman yang tenang sekitar 3km dari pusat kota.

Pada Senin (9/10) sore, keluarga tersebut mulai mendengar suara tembakan keras di sekitar lingkungan tersebut.

“Kami pikir kami aman di dalam rumah, namun tiba-tiba dan tanpa peringatan, jendela pecah, pintu terbanting dan terbang,” kata Dina. “Beberapa bagian atap runtuh di sekitar kepala kami.”

Karena terkejut, mereka tetap tinggal di dalam rumah yang rusak tersebut ketika enam serangan udara berikutnya menghantam daerah itu.

By admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *