Kam. Des 7th, 2023
-hakim 2

Harian deteksi– 2 hakim Mahkamah Konstitusi menyebut sejumlah kejanggalan di balik penanganan perkara batas usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden, dari nama pegawai penerima berkas yang berbeda hingga pencatatan dokumen gugatan pada hari libur.

Apa saja keanehan yang dikatakan hakim Saldi Isra dan hakim Arief Hidayat pada sidang, Senin (16/10) kemarin? Bisakah informasi itu menjadi babak baru dalam pemaknaan syarat batas usia capres-cawapres yang baru saja diubah oleh MK?

Setelah pembacaan amar putusan perkara yang diajukan kakak beradik berstatus mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) bernama Almas Tsaqi Birru dan Arkaan Wahyu, majelis hakim konstitusi mempersilakan empat hakim menjelaskan ketidaksetujuan mereka pada putusan tersebut.

Hakim Wahiduddin Adams, yang mendapat giliran pertama, membacakan pendapatnya yang mayoritas berkaitan dengan konsep dan prinsip hukum tata negara.

Hakim Saldi Isra dan Arief Hidayat yang mendapat giliran berikutnya juga mengutarakan pendapat hukum mereka. Namun keduanya secara rinci memaparkan kronologi dan yang mereka anggap keanehan dalam proses penanganan perkara ini. Adapun hakim Suhartoyo tidak membacakan pendapat hukumnya yang berbeda dengan amar putusan.

Berikut ini adalah rangkuman kejanggalan penanganan perkara yang dikatakan oleh Saldi Isra dan Arief Hidayat.

‘Gugatan sudah dicabut, tapi hakim tetap proses perkaranya’

Hakim Arief Hidayat memaparkan kronologi ini:

Jumat, 29 September 2023

Kepaniteraan MK menerima surat pencabutan gugatan yang dikirim kuasa hukum Almas dan Arkaan pada pukul 14.32 WIB. Surat itu bertanggal 26 September 2023.

Sabtu, 30 September 2023

MK menerima surat baru dari kuasa hukum Almas dan Arkaan. Surat itu bertanggal 29 September 2023. Isinya memuat pembatalan surat pencabutan gugatan yang mereka serahkan kepada MK satu hari sebelumnya.

Hakim Arief Hidayat berkata, lewat surat ini kuasa hukum dua mahasiswa UNS itu memaparkan alasan pembatalan surat pencabutan gugatan.

“Karena adanya kesalahan informasi yang kami terima terkait pengiriman berkas perbaikan permohonan, maka dengan ini kami membatalkan surat kami tertanggal 26 September 2023,” tulis kuasa hukum Almas dan Arkaan dalam surat tersebut. Dia meminta MK tetap memeriksa dan memutus perkara gugatan batas usia minimum capres-cawapres.

Gugatan terhadap syarat usia minimal capres-cawapres dianggap politis karena anak Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming, berpotensi diusung sejumlah partai politik.

Selasa, 3 Oktober 2023

MK menggelar sidang untuk mengonfirmasi pencabutan dan pembatalan pencabutan gugatan Almas dan Arkaan. Dalam sidang itu, kuasa hukum dua mahasiswa itu menyebut tiga hal.

Pertama, soal miskomunikasi antara tim kuasa hukum yang berkantor di Solo dan Jakarta, terkait penyiapan berkas fisik permohonan. Mereka beralasan, kesalahpahaman di antara mereka mengacu pada keharusan tim kuasa hukum memenuhi syarat 12 rangkap berkas permohonan gugatan yang telah mereka perbaiki.

Kedua, akibat miskomunikasi ini, tim kuasa hukum mengeklaim bahwa mereka merasa khilaf dan malu. Oleh karenanya, atas inisiatif sendiri dan tanpa berkomunikasi Almas dan Arkaan, mereka mengirim surat pencabutan gugatan tertanggal 26 September 2023.

Ketiga, setelah berkoordinasi dengan Arkaan, tim kuasa hukum mengirim surat pembatalan atas pencabutan gugatan tersebut. Surat itu tertanggal 29 September 2023, menurut mereka, diterima oleh petugas keamanan MK bernama Dani pada Sabtu, 30 September, pada pukul 20.36 WIB.

Namun berdasarkan penelusuran Arief, merujuk Tanda Terima Berkas Perkara Sementara yang dicatat oleh MK, surat pembatalan pencabutan gugatan itu baru diterima pada Senin, 2 Oktober pada pukul 12.04 WIB.

Arief berkata, pegawai MK yang menerima surat itu pun bukan Dani, sebagaimana dikatakan tim kuasa hukum Almas dan Arkaan. Pegawai MK yang namanya tercantum dalam Tanda Terima Berkas Perkara Sementara adalah Safrizal.

Lebih dari itu, Arief mengaku heran karena Kepaniteraan MK meregistrasi surat pembatalan pencabutan gugatan itu pada Sabtu, 30 September, yang notabene merupakan hari libur, dan bukan pada Senin, 2 Oktober, sebagaimana tercatat dalam Tanda Terima Berkas Perkara Sementara

Merujuk kronologi serba bermasalah tadi, kata hakim Arief Hidayat, Almas dan Arkaan, sebagai pemohon gugatan batas usia minimum capres-cawapres, telah mempermainkan kehormatan MK sebagai lembaga peradilan. Keduanya, menurut Arief, juga menunjukkan ketidakseriusan dalam mengajukan permohonan gugatan.

Lebih dari itu, Arief berkata Almas dan Arkaan tidak dapat mengajukan lagi gugatan yang telah mereka cabut. Ketentuan ini tertuang dalam Pasal 75 ayat (1) huruf b dan ayat (3) huruf c pada Peraturan MK 2/2021. Regulasi itu mengatur tata beracara dalam perkara pengujian undang-undang.

Pakar hukum ragu KPU bisa menyesuaikan peraturan pemilihan capres-cawapres karena periode reses DPR beriringan dengan tahap pendaftaran peserta pemilihan presiden/wakil presiden.

Arief berkata, di sisi lain, MK semestinya juga menolak surat pembatalan pencabutan perkara tersebut. MK, kata dia, tidak semestinya malah memeriksa apalagi mengabulkan permohonan gugatan.

Sesuai regulasi, menurut Arief, penolakan MK itu seharusnya dikeluarkan MK melalui ketetapan yang mengabulkan penarikan permohonan gugatan. Dasar ketetapan itu semestinya “pemohon gugatan yang tidak sungguh-sungguh dan tidak profesional dan diduga malah mempermainkan kewibawaan dan marwah MK.”

‘Berdasarkan hitungan matematis, syarat minimal bukan pejabat yang dipilih pemilu tapi hanya gubernur’

Keganjalan lain dalam penanganan perkara batas usia capres-cawapres diutarakan oleh hakim Saldi Isra. Dia mempertanyakan proses pengambilan keputusan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH), yang menurutnya, secara matematis berbeda dengan yang semestinya.

Saldi memaparkan keganjalan pengambilan keputusan ini dalam dua diagram. Pada diagram pertama, tiga hakim konstitusi menyebut semua pejabat yang terpilih dalam pemilihan umum (elected official) dapat menjadi capres-cawapres, meski tidak berusia 40 tahun. Pejabat yang masuk kategori ini adalah presiden/wakil presiden, anggota DPR, DPD, DPRD, serta kepala daerah dari tingkat provinsi hingga kabupaten atau kota.

Dua hari jelang pendaftaran capres-cawapres, belum satu pun partai politik mendaftarkan sosok yang mereka ajukan dalam pemilu presiden-wakil presiden tahun 2024.

Sementara itu, dua hakim lainnya menyebut yang bisa menjadi capres-cawapres meski berumur di bawah 40 tahun hanyalah gubernur. Jika dihitung secara matematis, Saldi menyebut seharusnya titik temu dari lima hakim ini adalah jabatan gubernur.

Jabatan gubernur, kata Saldi, semestinya juga keluar menjadi putusan MK jika merujuk diagram lainnya. Saldi merinci, tiga hakim menyebut pejabat yang bisa menjadi capres-cawapres meski berusia di bawah 40 tahun adalah semua pejabat yang dipilih melalui pemilu. Hakim keempat hanya menyebut jabatan kepala daerah. Adapun, hakim kelima membatasi definisi pejabat sebagai gubernur/wakil gubernur.

Dengan demikian, kata Saldi, “titik temu di antara mereka berlima hanya berada pada jabatan gubernur”.

Saldi mengatakan, perdebatan ini adalah perihal yang paling menyita waktu selama pembahasan di RPH. Oleh karenanya, kata Saldi, terdapat hakim yang mengusulkan agar pembahasan putusan ditunda dan agar para hakim “tidak perlu terburu-buru” serta “perlu mematangkan kembali pilihan mereka.

Anjuran tersebut, menurut Saldi, juga mempertimbangkan agar putusan MK tidak menunda dan mengganggu tahapan pemilu. Namun Saldi menyebut beberapa hakim dari lima hakim tersebut “seperti tengah berpacu dengan tahapan pemilihan umum presiden dan wakil presiden”.

Para hakim ini, kata Saldi, “terus mendorong dan terkesan terlalu bernafsu untuk cepat-cepat memutus perkara”.

Apa konsekuensi dari keterangan hakim Saldi dan Arief Hidayat?

Merujuk Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, MK mengadili perkara pada tingkat pertama dan terakhir. Putusan MK dalam perkara pengujian undang-undang terhadap konstitusi bersifat final. Artinya, setelah MK mengeluarkan putusan, tidak terdapat badan peradilan yang dapat menguji kesahihan putusan mereka. Upaya banding, kasasi, dan peninjauan kembali tidak berlaku dalam proses peradilan di MK.

Yang jelas, kata Feri Amsari selaku pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, proses pengambilan keputusan dan amar putusan MK soal batas usia minimal capres-cawapres ini unik atau tidak seperti yang terjadi pada perkara sebelumnya.

Setelah terjadi perubahan makna pada syarat capres-cawapres ini, Feri menyebut KPU harus segera memperbarui peraturan yang mengatur pemilihan kepala negara dan pemerintahan ini.

“KPU harus memperbaiki peraturan mereka dan mengonsultasikannya terlebih dulu dengan Komisi II DPR,“ kata Feri. Masalahnya, kata Feri, saat ini DPR tengah menjalani masa reses pada 4 hingga 30 Oktober mendatang.

Masa reses adalah periode di mana DPR tidak ada memiliki agenda kerja di parlemen karena mereka kembali di daerah pemilihan mereka masing-masing. Sementara itu, tahap pendaftaran capres-cawapres dibatasi dari 19 hingga 25 Oktober mendatang.

Hingga berita ini diturunkan, Ketua KPU Hasyim Asyari menyebut lembaganya akan segera mempelajari putusan MK, sebelum menyusun ulang peraturan KPU serta berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah. Hasyim tidak angkat bicara soal periode waktu yang singkat karena tahap pendaftaran capres-cawapres akan dimulai 19 Oktober mendatang.

“Kami akan sampaikan pada pemerintah dan DPR dalam waktu dekat,” ujarnya, Senin lalu, usai pembacaan amar putusan MK.

By admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *